(oleh Pdt. DR Jonathan Trisna)
Keterbukaan Awal Pemulihan
Suatu saat saya diundang untuk memberi suatu ceramah di sebuah gereja di Jakarta. Di dinding aula terdapat suatu spanduk besar dengan tulisan “Keterbukaan awal Pemulihan.” Tidak ada spanduk lain yang bertuliskan ayat-ayat Alkitab di dinding jemaat tersebut. Saya tahu bahwa kata-kata tersebut bukanlah Firman Allah, jadi tidak akan ditemui dalam Alkitab, tetapi seakan-akan dijadikan moto utama gereja tersebut, suatu panduan hidup bagi anggota jemaat tersebut karena terpampang di tembok besar-besar yang tidak mungkin luput dari perhatian jemaat. Moto tersebut dimulai dari seorang pendeta dari sebuah denominasi gereja di Indonesia dan banyak dipromosikan melalui program “Pria Sejati” dan SPK/SPY.
Memang saya mengakui bahwa saya belum pernah mengikuti program tersebut dan tidak berminat mengikutinya. Saya mendengar banyak pria yang merasa diberkati setelah mengikuti program tersebut. Katanya program tersebut dimulai setelah Edwin Cole mulai dengan program “Promise keepers”nya di Amerika Serikat yang menganjurkan para pria/suami untuk menjadi pemegang janji, tentunya terutama janji nikah. Hanya saja setelah saya membaca buku karangan Cole, saya tidak mendapati apapun yang mirip dengan moto “Keterbukaan awal Pemulihan” tersebut.
Karena tidak ada dalam Alkitab, kita perlu menanyakan apakah moto tersebut baik atau tidak baik untuk dijadikan panduan hidup orang Kristen umumnya. Ternyata ada akibat yang sangat buruk yang datang dari moto tersebut.
Secara pribadi saya mengetahui sebuah keluarga anggota sebuah gereja besar di Jakarta, yang pecah melalui perceraian karena sang suami, setelah mengikuti program Pria Sejati, menyangka ajaran tersebut adalah perintah dan kehendak Allah baginya hingga suatu hari ia mengumpulkan isteri dan anak-anaknya serta mengakui bahwa beberapa tahun sebelumnya ia telah terlibat dalam sebuah affair dengan seorang wanita di tempat kerjanya serta banyak melakukan masturbasi. Begitu ia terbuka dengan mengakui dosa-dosa masa lampaunya tersebut, isterinya menjadi marah besar, anak-anak mereka shok. Sang isteri mulai menanyakan secara detail hubungan tersebut yang, walaupun sangat tidak ingin dijawab suaminya, harus dijawabnya karena sang isteri mulai “menterornya.”
Sang suami harus terus menerus menjawab secara detail pertanyaan-pertanyaan sang isteri, seperti di tempat-tempat mana, hotel-hotel dan losmen-losmen mana selingkuh itu dilakukan, apa posisi kesukaan wanita itu, nikmat atau tidak hubungan seks tersebut? Berapa biaya yang harus dikeluarkannya tiap kali berhubungan seks dengan perempuan itu. Apa ada barang-barang yang harus dibelikannya (kamera, HP, cincin, Ipod, dll.) Mana lebih nikmat dibandingkan berhubungan seks dengan isteri? Kulit siap lebih mulus dan kenyal (bagaimana bisa membandingkan perempuan 20 tahun dan isteri yang telah lebih dari 40 tahun usianya?) Bagaimana cara merayunya, kata-kata yang digunakan, bagian-baian tubuh mana dari wanita itu yang suka disentuh dan diraba, dll.
Akibatnya sang suami terpaksa banyak berbohong karena bila ia jujur (“ya, lebih nikmat berhubungan dengan dia” “Ya kulitnya lebih kenyal daripada kulitmu”), tambah menggila cemburu isterinya. Jadi Keterbukaan yang dianjurkan malah menyebabkan sang suami menjadi pembohong terus menerus karena tidak mungkin bisa jujur terhadap isterinya lagi.
Hubungan mereka retak karena isterinya tidak pernah dapat menerima pengakuan serta tidak mampu mengampuni suaminya. Sang isteri menjadi sangat menderita serta cemburunya yang membara sangat menyiksanya, suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Akhirnya pernikahan mereka tidak tahan menghadapi badai/goncangan besar tersebut dan mereka bercerai. Gembala mereka juga tidak mampu menolong mereka.
Contoh lain adalah pasangan yang menjadi bermasalah setelah pengakuan dosa selingkuh tetapi masih dapat diselamatkan.
Pasangan ini tinggal di Pontianak. Setelah mendengar tentang “Keterbukaan awal Pemulihan,” seorang suami berusaha menjadi seorang Kristen yang taat menggenapi “Firman Allah” yang baru didengarnya dengan pengakuan terbuka kepada isterinya. Ia juga mengakui bahwa dalam berbisnis ia juga telah pernah selingkuh beberapa tahun sebelumnya. Sejak saat itu sikap isterinya terhadap dirinya berubah drastis. Sang isteri tidak mampu lagi mengasihi suaminya serta selalu merasa suaminya sebagai seorang yang menjijikan. Ia tidak menghendaki suaminya dekat-dekat lagi padanya, bahkan tidak mau disentuh suaminya lagi serta tidak mau tidur seranjang dengannya. Pandangannya terhadap suaminya yang dulu disayanginya berubah total. Ia sekarang merasa jijik terhadap suaminya dan mulai memikirkan untuk bercerai. Baiknya mereka bertemu dengan seorang hamba Tuhan yang memberikan kepada mereka berdua konseling intensif. Akhirnya mereka tidak jadi bercerai walau tidak diketahui seberapa dekat/mesra mereka sekarang (Apakah kemesraan antar mereka semula dipulihkan?).
Kasus ketiga menimpa salah seorang mahasiswa saya sendiri.
Mahasiswa ini mengikuti program “Pria Sejati” dan mendengar tentang ajaran “Keterbukaan awal Pemulihan.” Ketika para peserta dianjurkan untuk saling terbuka, bersama beberapa peserta lainnya, mahasiswa saya yang juga seorang pengusaha ini ikut maju ke depan dan di depan hadirin mengakui dosa perzinahannya beberapa tahun sebelumnya, seperti yang biasa dilakukan para pebisnis temannya juga. Ternyata salah seorang peserta lain adalah adik kandung isterinya. Suatu hari adik itu tidak mampu membuka rahasia pengakuannya kepada isterinya. Karena dikonfrontasi oleh isterinya, terpaksa ia mengakui dosanya. Sejak itu isterinya berubah sikap padanya, sering timbul sikap marahnya dan memperlakukan suaminya sebagai “kacungnya” (memerintahkannya untuk cuci piring, cuci pakaian tanpa boleh pakai mesin cuci walau mereka punya, menyapu dan mengepel rumah untuk “bayar harga” dosanya). Sampai saat ini hubungan mahasiswa ini dengan isterinya belum pulih, tetap tidur di kamar yang berbeda serta konflik-konflik masih sering timbul. Bila sang suami tidak segera dan secepatnya langsung melakukan perintah isterinya—apapun kehendaknya--, isteri itu langsung meledak dengan kata-kata kasar dan kata-kata binatang.
Ada beberapa kasus lain yang saya kenal yang sampai sekarang belum pulih juga karena keterbukaan seperti di atas. Bukannya keterbukaan awal pemulihan, keterbukaan malah menjadi awal bencana dan konflik.
Karena akibat yang sangat parah tersebut, suatu ketika saya menghubungi pendeta yang mencetuskan gagasan ini melalui telpon. Ia mendengarkan kritik saya bahwa kata-kata emas yang dipromosikan bagaikan sebuah doktrin itu tidaklah Alkitabiah karena tidak ada pada suatu ayat pun dalam Alkitab. Saya juga memberitahu beberapa kasus yang menimbulkan konflik, bahkan juga yang menyebabkan perceraian. Pendeta itu hanya mendengarkan kritik saya tetapi tidak menanggapi telpon saya. Hanya saja setelah itu saya mendengar bahwa ajaran keterbukaan yang sangat tidak Alkitabiah itu tetap diajarkan.
Sebagai hamba Tuhan tentunya kita harus sangat berhati-hati mengajarkan sesuatu yang tidak jelas-jelas merupakan ajaran Alkitab. Kita sebagai seorang manusia mengakui bahwa kita bukanlah Allah yang mahatahu. tidak mungkin kita mengetahui efek/akibat/implikasi dari pengajaran kita di luar Alkitab di masa kini dan di masa depan. Karena itu kita dilarang keras menambah-nambahkan suatupun pada ajaran Alkitab. Agar kita tidak melakukan kesalahan besar seperti itu, rasul Yohanes memberi peringatan keras dalam Wahyu 21:18 sebagai berikut “Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini.”
Salah satu peringatan pada “Pria Sejati” adalah isteri harus dipersiapkan lebih dulu sebelum keterbukaan tersebut. Salah satunya ialah dengan mengikuti program “Wanita bijak.” Tapi ternyata isteri-isteri yang telah mengikuti “Wanita Bijak” pun tetap tidak tahan dan hancur-hancuran (devastated) mendengar pengakuan dosa perzinahan/selingkuh suaminya. Hal ini benar juga bagi seorang isteri berkulit putih yang saya kenal. Walau dibesarkan dalam lingkungan yang lebih liberal dalam budaya Amerika pun, ia masih tidak tahan dan menginginkan perceraian dari suaminya setelah mendengar bahwa suaminya pernah berselingkuh. Malah saya perkirakan seorang suami akan lebih tidak bisa mengampuni isterinya yang telah terlibat perzinahan dengan pria lain daripada sebaliknya. Ada beberapa isteri yang setelah mendengar pengakuan suaminya menjadi begitu tersiksa dan menderitanya dan menyesalkan pernyataan suaminya. “Lebih baik saya tidak mendengar pengakuan suami saya dari pada tersiksa parah seperti ini.” Tentunya ini suatu yang kejam sekali dan bertentangan dengan perintah mengasihi isteri.
Ada juga yang berargumentasi bahwa walaupun tidak semua diberkati, ada ribuan yang diberkati oleh ajaran tersebut. Keyakinan kita adalah walaupun hanya ada satu keluarga yang tercabik-cabik, hal ini tidaklah membenarkan kita untuk menambah ajaran Alkitab dengan pengajaran yang tidak Alkitabiah. Bayangkan penderitaan dari satu keluarga yang tercabik-cabik itu, termasuk penderitaan besar dan efek negatif pada anak-anak sepanjang hidup mereka. Perceraian dengan tegas dan jelas dikatakan merupakan suatu “kebencian” di hadapan Allah (Maleakhi 2:16 “Sebab Aku membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel …”). Kita dilarang keras menjadi penyebab kebencian Allah ini: menjadi penyebab perceraian anggota jemaat kita.
Kadang juga diberi argumentasi bahwa pengakuan sebaiknya dilakukan kepada seorang rohaniwan (pendeta, gembala). Tapi bukankah ini justru bertentangan dengan kemenangan yang telah diraih Martin Luther yang memang Alkitabiah: The priesthood of all believers (keimaman semua orang percaya, 1 Petrus 2:9 “…, imamat yang rajani, …). Kita tidak membutuhkan pengantara manusia lainnya kepada Bapa selain melalui YESUS Kristus. Hanya ada satu pengantara saja antara kita dengan Allah Bapa. Pengakuan dosa dapat/boleh kita lakukan langsung kepada Allah tanpa harus melalui seorang imam/pastor/pendeta/gembala. Dengan darah Kristus kits diberi hak untuk berani datang langsung kepada Allah untuk menerima pengampunan dosa kita. Memang bagi yang tidak mengerti atau belum mampu datang sendiri kepada Allah, dibutuhkan bimbingan seorang konselor/pendeta.
Dan setelah kita mengakui dosa kita, dosa kita sungguh-sungguh sudah
- Diampuni (1 Yoh 1:9 “…sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita …”),
- Kita disucikan sepenuhnya seputih salju (Yesaya 1:18 “… sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.”). Dan hebatnya, obat penycucinya adalah darah Kristus sendiri.
- Dosa tersebut sudah dilupakan Allah, tidak ada lagi dalam memori Allah (Ibr 10:17 “dan Aku tidak lagi mengingat dosa dan kesalahan mereka.”). Bukannya karena Allah kita pelupa, tetapi dengan kehendakNya, dengan sengaja Ia tidak lagi mau mengingat dosa yang telah kita akui di hadapanNya.
Sebab itu kita juga dapat mengampuni diri kita sendiri dan orang lain bila telah minta ampun kepada Allah, tidak perlu mengingat-ingat lagi serta merasa bersalah terus karena secara fakta memang dosa tersebut sudah tiada lagi dan telah secara tuntas dibayar oleh korban Kristus. Kita sudah putih bersih seperti salju oleh darahNya. Mengingat terus, apalagi menguarkan dosa kita dengan menceritakan kepada orang-orang lain berarti kita tidak menghargai, tidak mempercayai serta melecehkan korban Kristus dan darahNya yang telah tercurah bagi kita. Apakah kita lebih mempercayai kata-kata manusia daripada Firman Allah?
Sebagai dosen konseling saya juga mengajarkan kepada para mahasiswa untuk tidak mengajarkan bahwa antara suami isteri harus ada keterbukaan 100%. Ini juga tidak terdapat dalam Alkitab.
Suatu ketika, seorang pendeta berkhotbah bahwa kita harus berani minta ampun bila kita berdosa pada seorang dan mengampuni orang yang bersalah kepada kita, apapun dosa itu, secara mutlak, tanpa batasan atau peringatan. Setelah selesai berkhotbah, pendeta tersebut memberi kesempatan pada jemaatnya bila ada yang ingin minta ampun pada seseorang. Ada beberapa orang yang berdiri, mengaku dosa dan minta ampun kepada seseorang dari anggota jemaat.
Setelah pulang dari gereja, seorang bapa/suami merasa bersalah besar karena belum taat sepenuhnya kepada “Firman Tuhan.”
Akhirnya setelah banyak pergumulan batiniah, ia berkata kepada isterinya: “Ampuni saya karena saya telah berdosa padamu.”
Isterinya heran dan bertanya, “Oke, saya mau mengampuni, tetapi dosa apa yang harus diampuni.”
Suaminya mula-mula tidak mau menjawab pertanyaan isterinya. “Pokoknya ampuni saya saja.”
Isterinya malah bersikeras “Ya tetapi dosa apa yang harus saya ampuni?”
Akhirnya suasana menjadi runcing dan tegang sekali karena isterinya menekan terus, hingga akhirnya suaminya mengalah dan berkata: “Saya sudah berzinah dalam hati (Matius 5:28 “… Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.”) dengan Sarah (teman dekat pasangan ini yang sering berkunjung ke rumah mereka). Isterinya menjadi sangat marah.
Tentunya hubungan isteri tersebut dengan Sarah menjadi renggang tanpa temannya tahu sebabnya. Sarah tidak diperkenankan untuk datang lagi ke rumah mereka. Kecemburuan isteri juga dibangkitkan tinggi. Ia tidak membolehkan adanya wanita lain dalam rumahnya. Pembantu mereka yang memang masih muda di PHK dan mereka tidak pernah memakai pembantu lagi. Tetapi tetap konflik tidak mereda. Tiap kali suami bengong (berdiam diri) sebentar, sang isteri bertanya: “Sedang berzinah dalam hati ya?”
Hubungan mereka yang menyakitkan tidak dapat pulih hingga mereka datang minta tolong pada gembala mereka. Barulah sang pendeta sadar dia telah mengajarkan suatu yang tidak sepenuhnya Alkitabiah kepada jemaatnya. Memang kita perlu minta ampun dan mengaku dosa kepada orang yang telah secara nyata kita rugikan, tetapi tidak untuk dosa dalam hati dan tidak perlu minta ampun kepada orang kepada siapa kita tidak berdosa (1 Petrus 5:16). Jangan utarakan kepada isteri kalau kita terpukau kepada seorang sales girl di mall karena mini skirtnya menunjukkan paha yang putih mulus. Jangan kita ungkapkan padanya kita tertarik kepada pembantu tetangga yang lebih muda dan sexy daripadanya. Juga jangan kita ungkapkan kekecewaan dalam hati kita karena kulit isteri sudah tidak kenyal dan mulus seperti ketika masih remaja serta adanya bagian-bagian tubuhnya yang sudah merosot (ditarik kebawah oleh gaya tarik bumi?) Ini adalah kebodohan. Keterbukaan tidak pernah harus mutlak, 100%. Kita harus mengajarkan kepada jemaat kita untuk lebih berhikmat, juga dalam pengakuan dosa.
Kita (para pendeta) sering mengucapkan ayat: “Apa yang sudah disatukan Allah jangan diceraikan manusia.” Siapa “manusia” yang dimaksud? Kalau kita tidak hati-hati--dengan hanya mengajarkan kebenaran yang ada dalam Alkitab, jadi tidak boleh hal-hal yang ekstra Alkitab (di luar Alkitab)--, maka para hamba Tuhanlah yang menjadi penyebab perceraian yang dibenci Allah.
Sering kali dikutip ayat dalam Yakobus 5:16 yang berbunyi “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. . .” Ayat ini memang mengajar kita untuk tidak menyembunyikan dosa kita, langsung mengakuinya bila kita berdosa. Tetapi pengakuan itu tidak diperintahkan untuk dilakukan di hadapan semua orang, apalagi kepada orang-orang yang tidak kita kenal serta tidak memiliki hubungan apapun serta tidak dirugikan sama sekali oleh dosa kita. Memang kalau kita menipu uang seseorang dan menyadarinya, kita harus mengakunya dan mengembalikan uang itu padanya.
Untuk memperoleh bantuan doa dan konseling, kita dapat—bukan harus--mengaku di hadapan seorang hamba Tuhan, tetapi ia haruslah seorang yang sangat kuat menjaga semua rahasia yang didengarnya dalam ruang konseling. Inilah etika konseling yang sangat ketat.
Di beberapa negara barat, seorang konselor dapat dituntut melalui pengadilan bila membocorkan rahasia konseling (seperti dokter yang dituntut karena membocorkan rahasia penyakit pasiennya). Mungkin baik juga bila ada orang-orang yang mengalami perceraian karena korban pengajaran yang tidak Alkitabiah ini yang berani menuntut gereja yang tetap mengajarkan doktrin janggal tersebut. Bila gereja harus membayar ganti rugi uang (5 milliar rupiah, misalnya), gereja akan berpikir seratus kali lebih dulu bila ingin terus mengajarkan doktrin tidak Alkitabiah tersebut.
Jadi, kesimpulannya adalah:
Keterbukaan total (100%) tidak diajarkan dalam Alkitab dan tidak boleh kita ajarkan karena kemungkinan akibat yang parah. Jangan mengajarkan “Keterbukaan awal Pemulihan.”
Doulos Camp
Mengherankan juga bahwa banyak hamba Tuhan terpukau dengan Doulos Camp. Saya juga tidak pernah mengikuti camp ini serta sama sekali tidak berminat untuk mengikutinya. Beberapa ibu bercerita bahwa mereka dibentak-bentak keras, walaupun sudah tua, oleh pria-pria (“komandan”) yang lebih muda dari putra-putra mereka.
Kok seperti di perploncoan masa dulu yang sudah dilarang saat ini? Setelah lama menggunakan sistim perploncoan seperti perguruan-perguruan tinggi lainnya, staf ITKI di Semianri Bethel, Petambuaran, Jakarta, akhirnya memutuskan untuk tidak lagi membolehkan penggunaan perlakuan kasar dan adanya bentak-bentak kepada para calon mahasiswa baru dalam pekan orientasi (walaupun pada malam terakhir para senior mencuci kaki para calon mahasiswa/i).
Lalu sekarang terdengar banyak hamba Tuhan yang mempromosikan Doulos Camp.
Apa tujuan perlakuan kasar tersebut? Agar terjadi perubahan sifat? Dari seorang yang tidak berdisiplin, atau sombong berubah menjadi seorang yang berdisiplin tinggi dan rendah hati? Bukankah itu suatu usaha kedagingan?
Saya ingat ketika saya masuk ITS (Institut Teknologi Surabaya) pada tahun 1963, saya harus mengikuti perploncoan yang ganas. Salah sedikit dibentak-bentak dan dimaki-maki dan kadang-kadang ditendang oleh para senior. Hukuman-hukuman push up sering diberikan dengan alasan yang mengada-ada. Memang semua calon mahasiswa (cama-cami—calon mahasiswa dan calon mahasiswi) mau tidak mau harus berdisiplin karena hukuman yang berat tersebut. Setelah pulang dari kegiatan perploncoan jam 10 malam pun, masih tidak dapat langsung tidur walau tubuh sudah lelah sekali. Mungkin kami masih harus pergi ke pasar untuk membeli dan kemudian membuat perlengkapan yang diwajibkan untuk besok pagi. Kami kurang tidur dan kenyang dimaki-maki. Pertahanan menjadi lemah (baik secara fisik maupun psikis). Kasihan para cami yang cantik-cantik karena mereka banyak “dikerjain” dan mendapat “perlakuan yang istimewa.” Misalnya mereka dipaksa memegang dan menggenggam cacing di tangan. Setelah itu mata mereka ditutup dengan saputangan, dengan mulut terbuka bakmi dijatuhkan ke dalam mulut mereka dan mereka kemudian harus makan/mengunyahnya. Banyak yang menjadi histeris dan berteriak-teriak menangis.
Suatu petang, dalam kegelapan malam, para cama diminta berbaris tanpa baju. Mereka kemudian disiram dengan air kanji hingga lengket semua. Tetapi tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan karena ternyata ada yang kulitnya sakit terbakar karena ada mahasiswa senior yang jahat dan menyiram para cama dengan air keras.
Akibat dari perploncoan keras semacam itu memang untuk sementara waktu kami berdisiplin karena takut tetapi setelah beberapa bulan kami kembali dengan sifat lama kami, malahan ada tambahan benci dan cendam yang akan dilampiaskan/dibalaskan tahun depan ketika kami menjadi senior. Memang perploncoan adalah sarana pelampiasan sadisme dan malah menjadi sumber kebencian, bahkan ada yang sampai mati.
Perubahan yang terjadi tidaklah langgeng seperti yang diinginkan. Ini sesuai dengan ajaran firman Allah bahwa perubahan kepribadian yang sesungguhnya hanya terjadi melalui Roh Kudus. Ke 9 Buah Roh seperti kasih, suka cita, lemah lembut, penguasaan diri (dimana terletak disiplin—Galatia 5:22,23), dll. hanya bisa terjadi oleh Roh Kudus. Buah-buah kebenaran hasil usaha lainnya adalah hasil usaha manusia belaka yang mungkin tidak langgeng. Usaha-usaha psikologis termasuk dalam buah kedagingan tersebut dan itu bukanlah karya Roh Kudus serta najis di hadapan Allah (Yes 64:6 “Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; …”).
Untuk para pengusaha dan staf perusahaan, sudah ada juga program untuk mengubah diri yang sangat terkenal dan dikenal sebagai “Asia Works.” Selama seminggu atau lebih, para pengusaha ”dikandangin” di sebuah hotel. Program dibuat padat sekali. Selama waktu itu secara psikologis mereka diangkat dan dibanting, diangkat lagi lalu dibanting lagi, demikian terus menerus. Usaha untuk mengubah kepribadian secara psikologis melalui permainan emosi sangatlah nyata. Banyak yang menangis dan meraung. Hal itu malah dianjurkan, tidak boleh ditahan-tahan. Memang ada perubahan tetapi ini juga adalah usaha kedagingan.
Usaha pengubahan kepribadian oleh para bhiksu, benar-benar berhasil. Mereka tidak akan memukul mati nyamuk walau nyamuk itu sudah menggigit mereka. Walau nyamuk, binatang itu adalah nyawa dan tidak boleh dibunuh. Mereka tidak akan merugikan orang lain, tidak akan memakai kata-kata kasar, selalu welas asih dan sabar. Tetapi itu juga adalah buah kedagingan, hasil usaha manusia, baik/bagus di hadapan manusia tetapi yang dikatakan sebagai kain kotor/gombal di hadapan Allah.
Sebagai gereja Tuhan, GBI tidaklah dapat dibenarkan menggunakan trik-trik psikologis/hipnotis ataupun usaha kedagingan lainnya (termasuk disiplin dengan kekuatan diri dan penggunaan reward and punishment, mengupahi dan menghukum) untuk mengubah sifat.
Kita hanyalah bergantung pada karya Roh Kudus melalui:
- Pemberitaan Firman Tuhan. Kehendak Allah yang dinyatakan dalam firmanNya haruslah kita patuhi . Ini adalah air yang membersihkan dan membasuh kita. (Yohanes 8:31, 32 “... Jikalau kamu tetap dalam FirmanKu, kamu benar-benar adalah muridKu dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”)
- Persekutuan dengan Kristus sendiri (Yohanes 15:5 “Akulah pokok anggur dan kamu ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa,”). Melalui keintiman sehari-hari dengan Allah, segala sifat buruk kita akan diubahkan. Ini sering juga disebut sebagai berjalan dengan Roh.
- Melalui pengalaman hidup Allah juga sering berbicara dan menegur kita. Bahkan kalau kita masih hidup dalam dosa, Allah yang mengasihi kita akan menghajar kita (Ibrani 12:5-11 “… karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya, dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak…”), Hajarannya bisa terjadi melalui pengalaman-pengalaman buruk dalam hidup ini (di PHK, mengalami kebangkrutan, ditipu tanpa Allah menolong kita, terkena sakit penyakit, dll.) Tapi Allah juga membentuk kita melalui berkat, pemeliharaanNya dan penyataan-penyataan/kata-kata yang diberikanNya pada kita.
Ketiga cara ini diajarkan dalam Alkitab dan kita membaca banyak contoh-contoh tokoh-tokoh Alkitab yang berubah melalui ketiga cara tersebut. Cara-cara inilah yang kita gunakan untuk mengubah diri dan jemaat kita. Inilah cara-cara yang Alkitabiah. Bila Doulos Camp menekankan peran Roh Kudus untuk mengubah, maka mungkin bisa dimasukkan ke cara ketiga diatas: Melalui pengalaman hidup.
Memang di dalam Doulos Camp banyak juga diberikan firman Tuhan. Ini yang baik dan mengubah, dan ini kita lakukan selalu tiap Minggu dalam ibadah serta seminar-seminar dan retreat-retreat serta saat-saat teduh pribadi kita. Memang dalam Doulos Camp sebaiknya disertakan banyak acara praise and worship serta keintiman dengan Kristus yang sungguh-sungguh akan membawa perubahan kepribadian.
Kalau memang sistim yang digunakan dalam Doulos Camp adalah sistim yang baik dan unggul, tentunya dapat kita terapkan dalam berbagai situasi lainnya. Tetapi dengan tegas dan jelas kita melarang sistim in digunakan dalam situasi lainnya. Jangan digunakan dalam hubungan suami-isteri. Jangan isteri dibentak-bentak. Juga jangan diterapkan dalam gereja. Jangan gembala bentak-bentak anggota jemaatnya. Jangan juga diterapkan dalam hubungan orangtua dan anak. Jangan anak dibentak-bentak. Juga jangan diterapkan dalam perusahaan. Jangan bawahan dibentak-bentak.
Kalau tidak boleh diterapkan dalam situasi lainnya, bagaimana sistim Doulos Camp dapat dikatakan sebagai sistim yang unggul?
Memang ada cukup banyak peserta yang mengaku telah diberkati setelah mengikuti acara Doulos camp ini. Mereka melihat bahwa setelah di tekan dengan di maki-maki tersebut, mereka menyadari bahwa masih banyak kedagingan dalam diri mereka. Emosi marah mereka masih sangat dominan. Dan setelah pada akhirnya mereka diberi tahu bahwa acara di Doulos camp itu hanyalah simulasi belaka, mereka jadi reda dari emosi dan ke tidakpuasan/kemarahan mereka. Tetapi pemberitahuan ini tidak dberikan sebelum Doulos Camp dimulai agar efeknya lebih “mantap.”
Pertanyaannya, apakah sistim ini baik? Kalau baik, mungkin kita bisa terapkan pada isteri dan anak-anak kita. Suatu minggu selama 7 hari kita ekstra galak dan main bentak kepada isteri dan anak-anak kita. Setelah itu pada akhir minggu kita mengakui itu semuanya hanyalah simulasi, jangan dimasukan hati. “Jangan marah sama papa.” Tentunya hal ini konyol sekali dan tidak boleh kita lakukan pada siapapun juga.
Mengapa gereja tidak puas dengan mengadakan retret keluarga dan seminar-seminar, yang banyak memberitakan firman Allah serta yang sudah terbukti unggul dan banyak berhasil?
Akhirnya sebagai pengikut Kristus kita akan menggunakan metode dan cara-cara seperti yang dilakukan Kristus sendiri. Dalam mempelajari Alkitab kita tidak melihat Kristus menggunakan cara-cara seperti yang dilaksanakan dalam Doulos Camp. Sebaliknya Ia sangat berbelas kasihan, mengasihi, melakukan empati dan membimbing sesuai dengan keberadaan mereka yang dilayaninya (kadang-kadang dengan empati yang lemah lembut, kadang-kadang melalui konfrontasi dan sering mengajar melalui cerita dan perumpamaan).
Juga yang menarik: cara-cara yang digunakan dalam Doulos Camp tidak digunakan di negara-negara lain dimana iman Kristen dominan seperti di Amerika dan Eropah.
Kesimpulan:
Kita sebaiknya menggunakan cara-cara yang digunakan Kristus untuk memperbaiki diri kita, yaitu melalui FirmanNya serta persekutuan intim dengan Allah dalam praise and worship. Mengikuti Doulos Camp mungkin tidak merugikan tetapi hanya untuk refreshing saja. Sistim yang dipakai tidak boleh digunakan dalam situasi apapun lainnya.
Seluruh tulisan di atas telah mendapat ijin dari penulis yaitu Dr. Jonathan Trisna
nice artikel......
BalasHapussila rujuk Yakobus 5:16
BalasHapustq